Lalu, tanpa mengetahui kehebatannya terlebih dahulu, saat Anda melihat Matthew Le Tissier, yang sedikit gemuk, malas berlari, dan suka makan makanan kurang bergizi, hidup di liga semacam itu, Anda mungkin akan bependapat: Dia akan dilumat mentah-mentah oleh pemain-pemain lainnya.
Namun, saat membicarakan tentang Le Tissier, agar tidak terlihat pandir, Anda sebaiknya mengetahui kehebatannya terlebih dahulu. Mengapa demikian? Sederhana saja, karena dia adalah Matthew Le Tissier.
Karena dia adalah Matthew Le Tisser, dia berhasil mencetak 100 gol dan mencatatkan 64 assist hanya dalam 270 penampilannya di Premier League. Hebatnya, dia bukan seorang penyerang murni, melainkan seorang gelandang serang. Dan hebatnya lagi, gol-golnya tak sedikit yang masuk kategori gol terbaik di Premier League.
Karena dia Matthew Le Tissier, Xavi Hernandez, mantan gelandang tengah Barcelona, juga pernah mengatakan, "Le Tissier bisa dengan mudah melewati tujuh hingga delapan pemain lawan. Ia bisa melewati mereka tanpa kecepatan -- hanya dengan berjalan. Dan bagi saya itu sangat sensasional."
Karena dia Matthew Le Tissier, saat dia menjadi musisi Rock n’ Roll, percayalah bahwa para gadis tak akan ada yang percaya dengan sabda Noel Gallagher dalam lagunya yang berjudul Don't Look Back in Anger yang berbunyi seperti ini: "But please don't put your life in the hands of a Rock n Roll band, who'll throw it all away."
Dan karena dia Matthew Le Tissier, pujian-pujian saya sepertinya tak akan pernah cukup untuk menggambarkan kehebatannya. Pasalnya, dia benar-benar anak Tuhan terbaik yang pernah dilibatkan di Premier League.
Oleh karena itu, saya tidak akan membahas Le Tissier lagi. Saya justru akan mengajak Anda membahasa tentang Carlos De Mello, pemain asal Brasil yang pernah berlaga di Indonesia. Sebagian dari Anda mungkin sudah lupa dengannya, maka saya akan mencoba membuat Anda mengingatkan bahwa Carlos De Mello memang tidak sehebat Matthew Li Tissier, tetapi dia adalah Matthew Le Tissier-nya sepak bola Indonesia.
Carlos de Mello pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1994 lalu, tepatnya dalam gelaran Liga Indonesia I. Ia bergabung bersama Petrokimia Putra dan langsung membuat penggemar sepak bola Indonesia jatuh cinta kepadanya.
Saat itu, sebagai pemain asal Brasil yang bermain di posisi nomor 10, mungkin tak sedikit orang yang mengira bahwa Carlos pandai menarikan samba di atas lapangan sepak bola, tetapi itu ternyata dugaan yang salah. Gaya main Carlos De Mello ternyata sangat berlawanan dengan tarian samba. Ia malas berlari, tidak lincah, sehingga justru terlihat seperti pemain bola yang kelebihan berat badan.
Meski begitu, melalui umpan-umpannya yang presisi, dan visi permainannya yang berada di atas rata-rata, ia ternyata bisa mempermainkan lawan-lawannya dengan mudah. Ia kemudian gemar mempertontonkan umpan-umpan ajaibnya itu, membuat para penonton terperanga, sekaligus memanjakan rekan-rekannya.
Hebatnya, kemampuannya dalam mengumpan itu ternyata juga diimbangi dengan ketenangan yang luar biasa. Biar bagaimanapun, ketenangannya memang benar-benar setara dengan sebuah sekolahan yang murid-muridnya sedang melangsungkan ujian nasional. Jadi, saat lawan-lawannya mencoba mengepungnya, ia tetap mampu mengumpan dengan jitu.
Dengan pendekatan seperti itu, Carlos kemudian bisa mengangkat performa timnya semudah membalikkan telapak tangan. Asalkan ia dipercaya menjadi pusat permainan tim, kualitas pemain-pemain lainnya tak banyak memberikan pengaruh. Buktinya, Petrokimia Putra yang sebagian besar dihuni pemain-pemain biasa saja berhasil tampil mengejutkan di Liga Indonesia I karena bantuan Carlos. Saat itu, bahu-membahu bersama Jacksen F Thiago, Carlos berhasil membawa Petrokimia menjadi runner-up liga.
Menariknya, selain berhasil memikat para penggemar sepak bola Indonesia, apa yang dilakukan Carlos bersama Petrokimia juga berhasil memikat klub-klub besar di tanah air. Dan pada musim 1996-97, Persebaya pun mendapatkan tanda tangannya.
Dengan kualitas pemain yang dimiliki Persebaya, Carlos de Mello semakin menjadi-jadi bersama Persebaya. Di sepanjang musim tersebut, ia sering membuat lawan-lawan yang mencoba menghentikannya tampak putus asa. Hasilnya, Pesebaya terus menang dan berhasil meraih gelar liga. Ia berhasil meraih gelar liga pertamanya hanya di tahun keduanya di Indonesia. Dan berkat gelar tersebut Carlos pun menjadi tak kalah tenar dengan Pandawa Lima, salah satu album Dewa, band asal Surabaya, yang paling diakui. Singkat kata, namanya terus dibicarakan oleh banyak orang.
Sayangnya, Carlos hanya bertahan selama satu musim di Persebaya. Ia kemudian kembali berpetualang hingga mendarat di PSM Makassar pada musim 1999-2000 lalu. Dan bersama PSM inilah, ia berhasil meraih gelar liga terakhirnya di Indonesia.
Saat itu, bersama Bima Sakti, Kurniawan, serta Miro Baldo Bento, Carlos merupakan bintang utama PSM Makassar. Berkat penampilan ciamik mereka, PSM bagitu menakutkan bagi lawan-lawannya. Bagaimana tidak, di sepanjang musim tersebut, PSM hanya menelan dua kali kekalahan, salah satu rekor terbaik yang pernah tercipta di sepanjang liga Indonesia.
Setelah mempersembahkan gelar tersebut, karier Carlos memang mulai memudar. Kehebatan-kehebatannya mulai memenuhi kotak nostalgia. Meski begitu, sepak bola Indonesia sepantasnya bersyukur karena pernah memiliki pemain seperti dirinya. Setidaknya, meski kualitasnya masih jauh di bawah Matthew Le Tisser sesungguhnya, Matthew Le Tissier-nya sepak bola Indonesia tersebut lebih banyak meraih prestasi daripada Matthew Le Tissier sesungguhnya.
sumber
sumber
Comments
Post a Comment