Menang-kalah adalah hal yang biasa terjadi dalam sepak bola. Yang menjadi tidak biasa adalah bagaimana cara kita memaknainya. Seperti ketika Bali United tumbang di tangan Yangon United di laga perdana mereka di Piala AFC 2018 dengan skor 1-3.
Memalukan. Itulah kata yang pantas menggambarkan hasil tersebut.
Bukan karena mereka kalah di kandang sendiri, tetapi karena bagaimana kekalahan itu diperoleh.
Sejak awal, pelatih Widodo Cahyono Putro mempercayakan pertandingan kepada para pemain lapis kedua. Ilija Spasojevic, Nick van der Velden, Demerson, dan Miftahul Hamdi, duduk di bangku cadangan. Spaso dan Demerson bahkan hanya menjadi penonton di laga tersebut.
Tak pelak, tiga gol bersarang di jala tuan rumah hanya dalam tempo 25 menit. Gede Sukadana berhasil memperkecil skor menjadi 1-3 di ujung babak pertama, tapi itu jadi gol terakhir yang tercipta di laga tersebut.
Kekalahan ini tentu di luar prediksi karena Yangon bukanlah tim raksasa. Pada Mei 2014 lalu, Persipura Jayapura bahkan mampu pesta gol ke gawang tim asal Myanmar itu dengan skor 9-2.
Ada apa dengan Bali United?
Keperkasaan mereka seperti yang terlihat di kualifikasi Liga Champions Asia seperti tidak tersisa. Media sosial pun langsung dibuat ribut dengan spekulasi bahwa klub berjuluk Serdadu Tridatu itu lebih mementingkan pertarungan mereka dengan Sriwijaya FC di semifinal Piala Presiden, (13/2/2018) malam.
"Memang tidak seperti biasanya. Tapi keadaan memang tidak mungkin berada di atas terus. Apalagi mungkin dari Palembang (leg 1 semifinal) lelah. Ada juga beberapa pemain kurang siap. Ini bisa memotivasi para pemain agar terus berbenah," ujar Widodo seperti dikutip dari goal.com (13/2/2018).
Bali United harus menang untuk mencapai final. Dengan melangkah ke partai puncak, mereka punya kesempatan untuk menyegel hadiah utama yang digadang-gadang senilai Rp3,3 miliar.
Sedangkan di Piala AFC, ini baru laga pertama. Masih ada 5 pertandingan lagi di fase grup untuk melaju ke babak gugur.
Mungkin begitu pehitungan pelatih Widodo.
Tidak salah, hanya saja Piala AFC ini adalah pertaruhan nama negara juga. Apalagi, menggadaikan penampilan di turnamen kelas Asia dengan turnamen pramusim adalah analogi yang konyol, kecuali kalau melihat jumlah hadiah turnamen pramusim itu sih...
Well, yang jelas spekulasi itu mengundang nyinyiran dari netizenz. "Kalau tidak niat bermain di Piala AFC, kasih saja tiketnya ke klub lain." Begitu salah satunya.
Tetapi, tidak adil rasanya jika menyalahkan sikap tidak profesional itu hanya kepada Bali United. PSSI dan operator Piala Presiden pada khususnya juga punya andil atas hasil buruk ini.
Mereka seharusnya sudah tahu bahwa ada dua wakil Indonesia yang akan berlaga di level Asia di sela-sela perhelatan Piala Presiden ini. Tentu panpel tidak bisa menampik bahwa, terlepas dari hadiah yang menggiurkan, gengsi Piala Presiden ini amat besar.
Semua tim ingin menjadi kampiun di ajang tersebut dengan segala cara, termasuk merotasi pemain justru di kala mereka seharusnya tampil paling maksimal semisal di Piala AFC. Apa panpel sejak awal memang tidak mengantisipasi (baca: tidak menginginkan) Bali United dan Persija melaju hingga semifinal?
Bagi Persija sendiri, penampilan buruk Bali United bisa jadi pertimbangan berat saat tampil di Malaysia melawan Johor Darul Ta'zim dalam laga perdana mereka di Piala AFC, (14/2/2018). Di satu sisi, mereka mungkin juga tergoda untuk merotasi pemain menyusul bakal berlaga di final Piala Presiden 2018, (17/2) mendatang.
Namun, apakah dengan cercaan kepada Bali United ini, Macan Kemayoran masih berani tidak profesional dengan menurunkan lapis kedua? Siapkah mereka mendapat bully-an yang sama dengan Bali United, terlebih jika kalah dari tim asal Negeri Jiran itu?
sumber artikel asli
sumber artikel asli
Comments
Post a Comment